Home / Artikel Efek Penggunaan Media Sosial

Efek Penggunaan Media Sosial

Efek Penggunaan Media Sosial

Cerita Emak

Kamis, 14 Januari 2021

Mak,

pernahkah tau-tau Anda sudah klik media sosial dan ga terasa sudah habis berjam-jam hanya sekedar nyekrol sana sini saat menunggu antrian atau saat rebahan?

Sekedar kepoin status se se embak se se abang lagi apa dan sudah apa?

Atau mungkin tiap bangun tidur yang dibuka malah medsos atau gadget dulu. Kemana-mana kudu nenteng gadget.

Atau Pals lagi rebahan gitu, nyaris kepengen banget ‘sekedar’ membuka media sosial atau aplikasi di dalamnya tanpa tujuan spesifik. Ga tenang kalo ga bawa gadget. 


Hati-hati, khawatir sudah mulai addict dengan gadget. 


Belakangan ini saya lagi dijejelin tentang issue kekinian sama nak lanang (buat saya sih kekinian, tapi ternyata issue ini sudah sejak 2010, bassi banget kan gw baru tau).  Mau lagi di rumah atau di mobil, pasti ada aja info dan diskusi tentang perkembangan teknologi. Mulai dari politik dalam media sosial, hengkangnya petinggi beberapa penggagas, pencipta media sosial di beberapa perusahaan sampai cerita tentang larangan si pencipta tadi kepada anak dan keluarga mereka untuk bermedia sosial. Mungkin buat yang pertama kali mendengar tentang ini langsung berkerut itu jidat. Jadi, ga boleh medsos-an gituuh? Omoo… Emang ada apa?


Di belakang layar sebuah platform media sosial, terdapat mungkin ratusan programmer di dalamnya. Bohong bila tak ada tujuan bisnis saat membuat sebuah aplikasi. Guna menarik investor atau iklan yang masuk, mereka menggunakan cara yang tanpa kita sadari kita telah masuk ke lautan dalam sebuah capaian teknologi. Mereka membuat aplikasi sedemikian rupa agar kita memberikan atensi dengan ragam cara. Gimana caranya agar atensi kita terus menerus ada dalam media sosial yang mereka buat. Cara menarik atensi ini yang kemudian menjadi issue di negeri sana justru bukan karena platformnya namun karena cara mereka menjadikan kita untuk terus menerus masuk ke dalam platform yang mereka ciptakan.


Tanpa disadari, mungkin kita tidak lagi sensitif terhadap emosi dalam berkomunikasi tulis melalui dunia maya. Saat melakukan texting, kita tidak dapat menangkap gesture tubuh lawan bicara, kita tidak dapat berpikir lebih jernih saat mengetikkan kalimat apakah akan menyinggung atau tidak. Iya kalau mental kita sudah terbiasa berpikir sebelum bertindak. Kalau main asal goblek aje? Bisa runyam lah pertemanan. Bahkan mungkin hingga merasa lebih tertarik dengan dunia maya ketimbang dengan lingkungan nyata. Karena saat berkomunikasi di dunia maya, kita tak perlu bertatap muka. Cukup diwakili emot yang tersedia. Ataukah ada juga yang merasa lebih sedih tidak ada yang menanggapi di dunia maya dari pada tidak bertatap muka di dunia nyata.


Saya penyuka sepatu boots, pernah satu kali mengklik sebuah iklan sepatu boots di media social. Hanya dalam hitungan 2 menit mungkin saya skrol itu iklan sepatu. Ternyata beberapa menit bahkan selama nyaris berhari-hari kemudian, iklan sepatu serupa bermunculan di timeline saya. Yang kalo ga kuat iman, ga kuat hati, saya akan terus klak klik itu informasi. Itu baru iklan sepatu ye mak. Belum informasi tertentu yang mungkin serupa hanya beda tema. Itu salah satu contoh bahwa media sosial mampu menarik atensi saya untuk berlama-lama menggunakan platform tersebut.


Pernah ngalamin ga saat ada sebuah informasi yang viral tentang seledri? Satu harian itu timeline saya penuh dengan teman-teman yang membagikan manfaat seledri. Awalnya saya tidak tertarik, tapi lama kelamaan karena banyak sekali yang membagikan informasi itu, akhirnya saya klik juga tautan informasinya. Itu baru saya yang meng klik. Ada berapa orang yang berteman dengan saya melakukan hal yang sama bahkan juga membagikan informasi itu. Satu lingkaran pertemanan nyaris muncul informasi tentang seledri. Dan kemudian membuat kita kepo maksimal kenapa teman-teman kita pada membagikan informasi seledri itu. Hingga habislah nyaris satu jam kita duduk di depan gadget membaca perseledrian. Tanpa sadar kita sudah masuk ke dalam lingkaran media sosial.


Lain seledri lain lagi soal perasaan yang terbawa sampai ke lubuk hati. Merasa tak berharga karena setelah pasang status di media sosial, yang mencet tombol like nya sedikit padahal ia punya teman hingga ribuan.


Tahun 2019 di Penang, Malaysia, seorang putri berusia 16 tahun mengakhiri hidupnya hanya gara-gara ia membuka polling di instragram dan bertanya pada followernya, apakah sebaiknya ia bunuh diri saja atau tidak. Percaya atau tidak, 69% followernya menjawab bunuh diri saja. Dan akhirnya itu dilakukan. Kasus ini menarik perhatian media dan pemerintah kala itu. 


Itu hanya sebagian kecil efek dari media sosial yang ternyata juga merambah hingga kehidupan nyata. Berefek luar biasa hingga kadang kita lupa sedang berada di dunia maya. 


Bill Gates sang pendiri microsoft, dan Steve Jobs pendiri apple bahkan melarang anaknya memiliki ponsel sendiri sebelum anaknya berusia 14 tahun.  Sstt...di usia 14 tahun,  ternyata seorang anak itu sudah mulai bisa memahami mana baik dan buruk secara logika dan sadar. Ia ingin agar anaknya memiliki jam tidur yang wajar dan tidak melulu terpapar layar. Mak, itu yang ngomong yang bikin gadget loh. Lah kita apa kabar?


Sebuah penelitian di tahun 2019 lalu menyatakan bahwa ternyata remaja Amerika Serikat menghabiskan waktu 7 jam 22 menit dalam sehari untuk menatap layar ponsel. Belum lagi saat pandemi ini yang sekitar 60% informasi disampaikan melalui layar datar. Maka wajar ya kalau kita perlu melakukan digital minimalism.


Pernahkah Anda mendengar sebuah gerakan digital minimalism? Sebuah gerakan yang mengajak kita agar keluar sejenak dari belantara media sosial. Tidak melulu berada dalam blunder lingkaran setan yang terkutuk yang bernama media sosial. Tidak melulu berada dalam layar datar gadget. Nah, gerakan ini banyak memberikan inspirasi tentang apa yang bisa kita lakukan saat mengurangi atau bahkan menjauh dari penggunaan media sosial.


Salah satunya adalah dengan merubah warna tampilan warna layar medsos menjadi warna abu-abu. Saya tahu ini dari anak lanang saya yang sudah mempraktekkan lama sekali hingga sekarang. Komposisi warna-warna tertentu yang ada di media social itu ternyata mampu menarik mata untuk terus-menerus menatap layar karena cerah dan menariknya warna itu bagi sisi emosial kita. Kalau saya pinjam gadget anak lanang saya, aneh rasanya, karena semua yang dilayar bak nonton televisi hitam putih jaman dahulu kala. Tapi anehnya, mata saya nyaman melihatnya. Walau saat pertamanya siih, agak berbeda gitu rasanya. Tapi lama kelamaan, saya terbiasa dan mata tak mudah lelah kalau pinjam gadget anak saya. 


Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan puasa gadget selama 30 hari yang dibantu sebuah aplikasi pemantau. Dari sini kita akan tahu, berapa jam dalam sehari kita menggunakan gadget bahkan sekedar membuka media sosial. Dan hasilnya sungguh di luar dugaan. Hidup menjadi lebih tenang, tidak merasa diburu-buru. Ya, karena telah berhasil mengendalikan diri sendiri akan ketergantungan pada sebuah sistem yang diciptakan dalam sebuah gadget. 


Aneh memang kalau para pencipta media social itu kemudian melarang anak dan keluarganya untuk memiliki akun media sosial. Ini artinya ada sesuatu bukan?


img-1610612460.jpg


Nah, semua kembali pada kebutuhan dan kepiawaan kita dalam memilih prioritas. Gadget dan media sosial hanya alat. Jangan sampai 24 waktu yang kita miliki setiap harinya, justru lebih banyak nyekrol media sosial tanpa tujuan baik. Terlepas dari bagaimana cara kita memanfaatkan alat itu, sebuah nasihat baik dari Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah layak disimak


“menyia-nyiakan waktu itu lebih berbahaya dari pada kematian. Menyia-nyiakan waktu itu memutuskanmu dari Allah dan negeri akhirat, sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan penduduknya.”


Jadi, sudah saatnya kita kenceng dalam pengelolaan gadget ya gengs. Yuk pelan-pelan kita rubah cara penggunaannya dengan baik, benar dan bermanfaat.


img-1610612510.jpg


Tulisan hari ini terinspirasi dari judul buku digital minimalismnya Cal Newport P.Hd, seorang computer scientist yang ternyata ga punya media social dan hasil mikir setelah diajak ngobrol nak lanang yang kemudian berakhir pada pemanfaatan waktu dalam keseharian.


Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar

Jejaring Sosial