Day-7 Kembali Menemukan

Hari ini anak-anak punya agendanya sendiri, mereka sedang mempersiapkan perfoermance untuk open mind di homeschoolingnya. Si sulung yang memang hobi bermusik, selalu kebagian main piano. Si adik yang suka bernyanyi ternyata juga kebagian pengisi suara dan bernyanyi. Selama mempersiapkan proses itu, anak-anak selalu bercerita sepulang sekolah saat ngariung di meja makan. Saatnya mereka ngumpul itu saat yang selalu saya rindukan. Karena semua cerita seru bakal mengalir di sana. Salah satunya adaalh cerita bagaimana si bungsu mengelola creative thinking skillnya. Sederhana mungkin, tapi ini buat si bungsu, sesuatu yang ga bisa ditolerir terus menerus.


Si bungsu ini memiliki tingkat konsistensi tinggi akan sesuatu. Bila ada yang tidak sesuai dengan apa yang disepakati, ia tak akan segan untuk mengingatkan secara langusng pada orang yang tidak melakukan sesuai kesepakatan. Anak yang sangat runut hours by hours nya.  Ia sudah tahu apa yang akan ia lakukan beberapa jam kemudian, beberapa hari bahkan bulan berikutnya. Terstruktur. Namun kali ini di HS nya, ia yang didaulat menjadi ketua kelas, menemukan banyak sekali ketidak konsistenan, begitu ia menyebutnya. Saya dan ayahnya justru bersyukur sekali ia menemukan tambahan banyak pengalaman dan benturan seperti itu. 



Ia bercerita bagaimana akhirnya bisa mengajak teman-temannya untuk belajar menghargai waktu, menghargai orang lain yang sudah siap mengajar di kelas dan mampu menyelesaikan kesulitan temannya. Saya bersyukur, dengan heterogennya orang yang ia temui di berbagai kegiatan dalam dan luar ruang, banyak menambahkan warna baru pada si bungsu untuk bisa berfikir kreatif dalam menyelesaikan masalah, tanpa kami, orang tuanya atau bahkan tanpa orang dewasa lainnya.


Yup, kreatif itu tak hanya soal bisa membuat kain perca menjadi sesuatu yang berharga, tak hanya mampu membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada, namun memperbaiki situasi yang 'rusak' menjadi kembali berfungsi seperti semula juga menjadi bagian dari berfikir kreatif. Anak akan dipaksa menemukan solusi dalam setiap permasalahan yang ada. Baik dibutuhkan kecepatan memutuskan dan mencari jalan keluar atau diminta untuk sekedar menyumbang ide dan melakukannya dalam waktu tertentu. 


Saya tergelitik dengan ucapan seorang Psikolog Stansford University, Carol Dweck. Beliau menulis temuan dari eksperimennya dalam buku  The New Psychology of Success beliau menulis, hadiah terpenting dan terindah dari orangtua pada anak-anaknya adalah tantangan. Ya, betul, tantangan. Mau itu tentang kesulitan hidup, kekurangan uang jajan, bersabar dan berusaha untuk mendapatkan barang yang diinginkan, rasa frustasi dalam memecahkan masalah di usia muda. Saat ini banyak orang tua yang memberikan banyak sekali kemudahan hidup pada anak. Tidak bisa dan tidak suka matematika, di les kan.  Karena kasihan sudah sekolah hingga sore, urusan nyapu ngepel dan merapihan kamar adalah urusan si mbak. Tulisan Dweck ini bener-bener nampol saya dan ayahnya.  Dan dari situ kami belajar untuk memberikan hadiah terindah pada anak-anak yaitu alam yang menantang, bukan asal gampang atau digampangkan. Kalau kata Prof R Kasali, pujian itu boleh untuk menyemangati bukan membuatnya selalu mudah.


Semoga Allah memampukan kita semua dalam mendidik anak-anak ya...

Sumber : https://azkail.com/bikin-portofolio-anak-yuk-detail-55603?page=7