Bumi Langit yang Membumi

Bumi Langit yang Membumi

"Atas nama kemudahan, semua makanan instan telah menghilangkan inti untuk mengolah makanan yang thoyyib"

"Pengolahan makanan yang serba instan itu telah menghilangkan proses kedekatan antar anggota keluarga. Waktu 'lama'nya mengolah bahan makanan bersama, bercanda dan berbincang selama mengolah makanan, membuat makanan bersama dengan bumbu kasih sayang, telah lenyap, tergadai dengan segala hal yang serba instan."


Mak, itu adalah sekelumit pesan dari pak Iskandar, pemilik bumi langit di Imogiri Jawa Tengah. Ngeplak banget buat saya yang suka dengan kemudahan semua yang serba instan. Hiks. Awal Januari 2018 lalu, saya berkesempatan jajan ide bareng 27 SDM ketjehnya Sekolah Alam Bogor. Kami jajan ide sampai ke bumi langit.  Kenapa sih jajan aja harus jauh-jauh sampai ke sana segala? emang di Bogor ga ada apa? Yup. jajan ide sebetulnya bisa didapat di mana saja. Tinggal tujuan mencari pembelajaran kehidupan yang seperti apa yang kta inginkan. Kebetulan di bumi langit ada pembelajaran luar biasa yang kami akan buru. Berawal dari browsing mbah gugel, saya tak mendapatkan banyak informasi yang saya inginkan tentang apa sih yang mau didapatkan di bumi langit. Hanya cerita dari beberapa teman saja yang berhasil menggelitik saya untuk bertemu dengan si pemilik bumi langit ini. Sehingga menjadikan bumi langit adalah destinasi pertama kami.


Bumi langit merupakan nama tempat tinggal pak Iskandar dan keluarga. Daerah perbukitan di daerah Imogiri-Mangunan ini memiliki udara yang sangat bersih, terbukti dengan banyaknya kupu-kupu dan beberapa capung. Tanda udara yang sangat bebas polusi. Pemandangan indah terhampar di depan mata di antara hijaunya pohon pinus. Tanah seluas 4 hektar ini berhasil dikelola dengan sangat apik oleh pak Iskandar dan keluarga sehingga menjadi lokasi pengolahan bahan makanan yang halal lagi thoyyib, begitu istilah yang beliau gunakan. Semua area yang ada dimanfaatkan untuk mengembangkan permakultur. Permakultur itu kalau kata wikipedia, merupakan cabang dari ilmu desain dan teknik ekologis serta desain lingkungan yang mengembangkan arsitektur berkelanjutan. Sistem pertaniannya swadaya berdasarkan ekosistem alam. Duh, susah yang pengertiannya? Sederhananya sih kita itu peduli akan bumi kita untuk menjadikan bumi yang sehat agar manusianya juga sehat dan sejahtera. Karena makanan yang kita olah itu berasal dari tanah/bumi yang sehat, maka akan memberikan badan yang sehat pula, bebas pestisida dan sejenisnya. Otomatis akan meningkatkan kesejahteraan bagi penduduknya. 


Perjalanan dari bandara Adi Sucipto menuju bumi langit menghabiskan waktu kita-kita satu jam perjalanan mobil. Jalan Imogiri merupakan jalur alternative yang tidak begitu luas lebar jalanannya, tenang mak ..., mulus kok jalannya. Bagi Anda yang menyukai perjalanan darat, tak perlu khawatir, karena di sepanjang jalan Imogiri telah tumbuh banyak sekali rumah makan. Terutama sate klathak. Ah, ini perlu saya munculkan, karena saya belum kesampean mencoba sate ini. Kelihatannya sate ini adalah makanan khasnya Imogiri ya. Suatu saat pasti saya coba.


Menuju bumi langit, mangunan ini sangat mudah. Papan informasi jelas. Sepanjang jalan kita akan disuguhi pemandangan hutan pinus yang rapat. Karena begitu masuk pertigaan Imogiri-Mangunan menuju lokasi, jalan menanjak dan menikung tajam banyak ditemui sepanjang jalan. Seperti di puncak Bogor lah kira-kira, hanya kalau di puncak itu kebun teh, di daerah Mangunan itu hutan pinus. Tak jauh dari pertigaan Imogiri tadi, lokasi bumi langit ada di kiri jalan. Papan nama yang sederhana nyaris tak terlihat. Lokasi persis berada di pucuk bukit.  



Arah kiri papan ini adalah jalan masuk menuju lokasi. Photo by Abidin

Sekitar 20 meter, kita akan menemukan rumah kayu berdisain jawa kuno. Rumah kayu tanpa paku, yang terbuat dari batang  pohon kelapa yang disusun-sambungkan satu sama lain. Menurut mba Nung, tour guide kami, saat pak Iskandar membeli rumah ini,  dalam bentuk batangan saja, kemudian saat sampai di Imogiri di pasang, disusun layaknya sedang memasang lego pada mainan anak. 


img-1515667203.jpg
Rumah kayu sebagai tempat tinggal keluarga bapak Iskandar. Photo by Mr Dee

Siang itu tak terasa terik, mungkin karena sejuknya udara, matahari pun bersahabat. Kami diajak ke bangunan kayu berikutnya, masih dengan desain yang sama, batang kelapa yang disambung tanpa paku. Di pendopo ini kami beristirahat menikmati berjenak-jenak pemandangan sekitar. Pendopo ini persis ada di atas bukit, jadi kalau kita duduk menghadap arah selatan, kebun aneka sayuran, kolam pancing dan penyaringan limbah cair, terhampar luas. Kita bisa menikmati hilir mudiknya para petani dan pekerja bumi langit di perkebunan.


Ini alat penyaringan limbah cair pertama

Dari penyaringan limbah cair (bekas mandi, cuci piring dan semacamnya) ini, airnya digunakan untuk menyiram tanaman lagi. Semua dapat dimanfaatkan kembali, tak ada yang terbuang. Setelah disaring dalam beberapa lubang besar, lalu dialirkan ke dalam kolam-kolam berundak untuk kembali disaring secara alami. Di kolam pertama ditanami tanaman air berakar panjang, saya gga tahu namanya. Lalu di kolam kedua ada eceng gondok dan tanaman air lainnya. Ada tiga kolam kecil penyaringan alami sampai akhirnya berujung di kolam besar berisi ikan nila, mujair dan gurame.  Airnya tampak bening, di bagian atasnya hidup tanaman air sebagai pembersih alami. Dan dari kolam itu, airnya dialirkan ke beberapa selokan besar ke bawah/perkebunan. Ikannya? makan dari daun talas yang sengaja ditanam di sekitar kolam. Waw....semua bisa dimanfaatkan, tak ada yang terbuang. Ga kebayang mak, air dari mana harus nyiramin pertanian sekitar 4 hektar. 


img-1515676102.jpg
Tiga kolam penyaring alami untuk air limbah. Photo by bee

Tak hanya diajak berkeliling kolam penyaringan dan kebun semata, kami juga diperkenalkan bagaimana alam ini bisa memberikan banyak manfaat kebaikan untuk kita. Hanya kadang seringnya, kita lalai dan tak mau memikirkannya dengan baik.  Kalau gambar di atas tadi limbah cair bisa dimanfaatkan kembali untuk menyiram tanaman, naah, sampah dapur dan dedaunannya mereka jadikan kompos, untuk pupuk semua tanaman yang ada di bumi langit, mak. Tak hanya itu, pengolahan kotoran sapi perah dan kambingnya pun dimanfaatkan untuk pupuk cair. Bergerak ke arah timur, kami dikenalkan dengan ragam manfaat dan fungsi beberapa tanaman, bagaimana cara mengelola posisi tanaman tertentu, tanah yang seperti apa, dan tanaman sela antar pohon tertentu yang justru bisa memberikan manfaat pada pohon lain.

img-1515677097.jpg
Lokasi pengolahan sampah organik

Sebulan sekali sampah diaduk untuk menjadi hancur. Pada waktu tertentu dipindah ke kotak berikutnya, diaduk lagi sampai menjadi tambah hancur. Nah, kotak paling ujung itu, pupuk organik yang siap dimanfaatkan. Tak hanya itu, pak Iskandar dan keluarga selalu membiasakan minum susu sapi segar dan kefir buatan sendiri. Setelah susu sapinya diperah, sapi dibiarkan bermain di pucuk lokasi tertinggi di Bumi Langit. Di mana sekeliling pagarnya diberikan kawat kejut agar sapinya tdak keluar pagar. Nah, listrik kawat itu, bersumber dari solar cell, mak. Memanfaatkan panasnya sinar matahari untuk menjadi listrik. Pemanfaatannya tak hanya untuk kawat lapangan sapi tadi loh, tapi juga untuk warung dan kediaman pak Iskandar.


img-1515677517.jpg 
Kawat kejut sekeliling lapangan. Photo by bee

img-1515677596.jpg
Solar Cell. Photo by bee

Selama diajak mengitari 'halaman' bumi langit yang luas. Saya kemudian berfkir dan semakin yakin mengapa di al quran itu Allah selalu mengingatkan dengan kalimat "Apakah kamu tidak mengetahui, apakah kamu tidak melihat, apakah kamu tidak berpikir..." akan tanda-tanda kauniyah yang ada di muka bumi ini. Dan tidak ada satu pun ciptaan Allah yang tidak bermanfaat. Saya semakin tertampar saat sessi diskusi dengan pak Iskandar, segera setelah mengitari kebun beliau. 

Pak Iskandar, sosok yang sangat sederhana, bersahaja banget walau menemui kami 'hanya' dengan kaos oblong, sarungan dan peci putihnya. Perawakannya yang masih tegap, tinggi, dan dihiasi wajah teduhnya tak terlihat sama sekali kalau beliaulah yang menginisiasi lingkungan ini. Suaranya berat, tegas dengan kata-kata sederhana namun dalam sekali, menancap hingga ke hati. Tak terlihat sama sekali bahwa ternyata beliau adalah seorang seeker. Beliau betul-betul mencari agama dan keyakinan yang membuatnya bahagia dan damai. Hingga akhirnya tahun 2000-an, beliau berlabuh dalam dekapan Islam bersama istri dan sebagian anaknya. Hidup di daerah Bali yang sangat heterogen membuatnya gelisah. Sehingga sekitar tahun 2006 beliau kembali ke Yogyakarta dan mulai merintis permakultur bersama seluruh anggota keluarganya. Semua kisah dan perkataannya bagi saya adalah inspirasi. Kalimat yang dilontarkannya pun sangat sederhana namun sarat makna. Kalau pegang leptop saat itu, mungkin akan saya tulis langsung kata perkata semua insight yang beliau berikan pada kami. Berikut catatan paling penting bagi saya.

1. Mulailah dari makanlah makanan yang halal lagi baik.

Jangan hanya halal saja atau baik saja, namun carilah makanan yang halal lagi baik. Karena semua penyakit, baik penyakit fisik atau pun penyakit hati, bermula dari makanan, dari sesuatu yang masuk ke dalam mulut kita. Halal berarti semua yang menuju perut kita juga dicari dengan cara yang halal, beli makanan dari uang yang halal, membeli pada penjual yang mengerti akan jual beli dalam islam. Ketahui asal muasal dari makanan akan jauh lebih baik. Karena makanan itulah yang akan masuk dan memberikan kesejahteraan pada hidup kita di dunia dan di akhirat. Maka beliau menginisiasi bumi langit dan ia hidupkannya melalui warung buminya. Dimana semua produk yang dijual dari hasil kebun organiknya sendiri. Melibatkan warga sekitar untuk menanam sayuran organik. Menjualnya pada warung bumi. Mengedukasi warga sekitar untuk hidup sehat sesuai Islam. Sederhana, tapi nonjok mak...

2. Pendidikan saat ini eklusif.
Pak Iskandar menjelaskan bahwa sudah jelas Rosul mengajarkan bahwa kalau bertanya itu ya kepada ahlinya. Kalau kita mau pinter dan mengerti mana beras baik dan tidak, maka bertanya dan belajarlah langsung pada petani yang terkenal berhasil menghasilkan bibit padi yang unggul. Bila kita ingin belajar membuat tempe yang baik, maka belajarlah ke pembuat tempe. Bukan hanya diajarkan semata di depan kelas, namun ajaklah anak untuk mendapatkan pengalaman belajarnya sendiri pada ahlinya. Ini nonjok bangeet....

4 jam berguru bersama pak Iskandar terasa sangat singkat. Ya iyalah maak. Nyerap ilmu dan pengalamannya orang tawadhu itu ga bisa dalam hitungan jam.  Tapi ya, baru 4 jam aja sudah kek gini dalamnya hikmah yang beliau ceritakan, gimana kalau kita bermalam dan diskusi seharian dengan beliau dan keluarga ya.

Oia, di akhir silaturahmi, kami mencicipi makanan organiknya bumi langit di warung bumi. Nasi bekatul, sayuran segar baru dipetik, tahu dan tempe buatan sendiri. Bentuk boleh sama dengan makanan yang tak makan di Bogor ya mak, tapi rasa ga pernah bohong. Beda!



Jadi kapan kita akan mulai meninggalkan sesuatu yang serba instan ya, mak?

Sumber : https://azkail.com/bumi-langit-yang-membumi-detail-58576