Efek Menulis di Era Sosmed

Efek Menulis di Era Sosmed

Tak ada yang akan memperbaiki kehidupanmu, jika kau tak mau dan tak mampu memperbaikinya sendiri-Bertolt  Brecht


Ya, niat saja tak cukup untuk membuat kita bergerak memperbaiki keadaan tanpa dibarengi dengan usaha. Apapun itu, segeralah memulai langkah pertama. 


WHY

Buku yang akan saya review ini sebetulnya sudah lama sekali nangkring di lemari. Saya belum tergerak untuk membacanya. Lebih karena belum butuh tentang isinya sih. Hehehe. Malah memilih buku lain yang saat itu sedang dibutuhkan. Saat melakukan tantangan 30 hari menulis kembali, buku ini menjadi camilan harian untuk menjaga kepala dan hati tetap fokus pada komitmen yang sudah saya buat sendiri. Dan betul saja, buku ini tuh banyak banget memberikan warna dan darah segar buat saya. Membuat saya on the track. Masya Allah. Semoga Allah memberikan pahala terbaik untuk sang penulis, om Hernowo Hasim (alm) ya. Saya baru punya tiga buku beliau dari 39 buku solo yang telah dilahirkan selama empat tahun. Wadidaw. Apa kabar saya?


JUDUL

Yang bikin saya takjub adalah dalam menentukan judul buku kali ini, yang saat saya beli masuk ke cetakan ke 7 (mantab jiwa yekaan), ternyata banyak lika-likunya. Akhirnya beliau menemukan setelah tulisannya rampung dan setelah membaca dengan tanpa sengaja sebuah buku karangan Mihaly Csikszentmihalyi (duh, saya ngetiknya ampe satu huruf satu huruf, namanya unik) yang berjudul, Flow. Flow tak hanya berarti mengalirnya ide namun juga meluaskan kreativitas. Dikuatkan dengan penjelasan dari tiga penulis terkenal lainnya, maka jadilah judul buku ini ‘Flow di era sosmed-Efek Dahsyat Mengikat Makna’. Sebegitu panjang dan dalam menurut saya ‘hanya’ untuk mendapatkan satu diksi dari judul buku. Maka tak heran ini buku beneran best seller. Isinya daging semua. 


img-1586731711.jpg


Tampak Luar

Buku berwarna kuning menyala ini menarik mata saat dijajar di rak-rak buku. Dari pilihan font judul juga unik. Beberapa logo media sosial pun dimasukkan ke dalam fontnya, menyatu. Walau termasuk buku ‘tipis’, ‘hanya’ 226 halaman, jangan ditanya isinya ya. Banyak yang saya warnain, banyak label stiker saya tempel di halaman tertentu. Beneran daging semua. Saat saya membaca secara skimming, halaman demi halamannya menarik. Warna dasar di setiap halaman itu berbeda. Bila kebanyakan buku berwarna dasar putih, buku (alm) om Henowo yang ini tuh memiliki background hijau muda, coklat muda yang nge blur gradasi gitu. Gimana coba itu udah nge bluur, gradasi pula. Menariknya, di semua halaman genap diisi dengan kata mutiara, kutipan-kutipan dari buku beserta gambar, foto penulis dan atau cover bukunya yang menjadi rujukan dengan font yang enak dibaca. Sedangkan di halaman ganjilnya adalah isi dari pemikiran (alm) om Hernowo tentang proses apa dan bagaimana efek dahsyat dalam mengikat makna itu. Jadi buat Anda yang someday butuh suntikan semangat untuk menulis dan sejenisnya, cukup baca halaman kiri buku alias di setiap halaman genapnya ya. Lalu di bagian akhir ada seluruh sumber ilustrasi, foto dan referensi lengkap dengan halamannya. Keren yekaan. Kalau kita punya salah satu bukunya, bisa langsung meluncur, tuh.


ISINYA TENTANG APA SIH?

Saat ini cara kita berkomunikasi sudah bergeser. Tak lagi hanya mengandalkan face to face secara fisik namun bisa dilakukan melalui ragam media cetak dan media online. Baik berkomunikasi secara daring tatap muka ataupun tulisan. Nah, di buku ini, (alm) om Hernowo mengenalkan bahwa ada loh caranya agar kita bisa lancar dan baik dalam hal berkomunikasi. Beliau menyampaikan mengapa antara kemampuan berbicara itu sangat berkaitan dengan kecakapan berbahasa yang lain, yaitu mendengar, menulis dan membaca. Dan kemampuan seseorang untuk mampu mengikat sebuah makna adalah dengan menyatukan antara kegiatan membaca dan menulis. Maksudnya gimana ?


Kita bisa berbicara itu bila memiliki kosa kata yang telah kita rekam kemudian diolah di otak untuk kemudian diterjemahkan dan disuarakan saat berbicara. Bila tak ada stimulus atau input tentang ragam kosa kata yang masuk, jangan harap bisa dengan mudah berbicara secara baik dan lancar. Nah, salah satu cara yang paling baik dalam memberikan stimulus adalah dengan membaca. Baik membacakan dalam arti read aloud (untuk anak-anak) atau kita membaca buku dengan memsuarakannya sehingga telinga fisik kita mendengar. Saya sepakat tentang ini. Kalau kita membaca nyaring itu, bisa merasakan dan dapat ruhnya apa yang kita baca. Tak hanya mendapatkan kosa kata baru, tapi juga bisa mengerti apakah tulisan itu bertele-tele, terlalu panjang atau terdapat salah tanda baca sehingga tak enak bila dibaca.


Kalau sudah membaca nyaring, maka kemudian biasakan untuk menuliskan kembali apa yang telah dibaca. Beliau menyarankan untuk salah satu dari dua hal ini, yaitu :


1. Free writing

Menulis bebas, bisa dimulai dengan mind map loh. Menulis bebas berarti menulis untuk membuat kita nyaman. Jadi tak perlu takut salah ejaan, takut salah dan sebagainya. Lakukan saja secara spontan. Kalau kata JK Rowling, penulis Harry the Potter, tulislah tentang hal yang telah kita lakukan karena syarat menjadi penulis adalah menulis, menulis dan menulis. Tak ada yang lain.


2. Opening up

Mirip seperti free writing. Sama-sama menggunakan otak kanan, sama-sama dilakukan secara spontan namun opening up itu menulis tentang perasaan yang paling dalam. Sesuatu yang jarang atau mungkin tak pernah diungkapkan, bisa sifatnya traumatis terhadap sesuatu atau emosi terbesar kita selama ini. Tuliskan secara spontan.


Kalau sudah terbiasa melakukan itu, maka mulailah dengan :

1. Membaca

Ga suka membaca? Aiiih, mulai dari ngemil bacaan. Baca sesuatu yang kita suka dan dari artikel dengan sedikit kata aja dulu. Tapi rutin. Nanti lama-lama otot mata dan otak kita akan terbiasa. Membaca itu berat, Esmeralda. Maka mulai dari yang paling dasar dulu, paling mudah dilakukan dulu. Nanti lama-lama jam terbang membacanya akan nagih sendiri kok. Dan saya sudah coba cara ini. Beneran. Kalau sudah terbiasa, maka baca genre dan tema apa saja, maka bukan lagi urusan kosa kata yang akan bertambah, kita akan menjelajah dan mendapat pengalaman yang tak terbeli.


2. Tuliskan kembali

Yup. Tulis kembali apa yang telah kita baca. Kenapa harus ditulis seh? Ribet banget buat mengikat makna aja harus dituliskan kembali. Wahai, Esmeralda, menuliskan kembali itu apa yang kita dapat itu artinya kita sedang mengikat ilmu. Ingat kan apa yang disampaikan oleh Imam syafi’i :


الْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ * قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الْوَاثِقَهْ

فَمِنَ الْحَمَاقَةِ أَنْ تَصِيْدَ غَزَالَةً وَتَتْرُكَهَا بَيْنَ الْخَلاَئِقِ طَالِقَهْ


“Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya

Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat

Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang

Setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja. (Diwan Asy-Syafi’i)

https://rumaysho.com/13457-beliau-pun-menyimak-dan-mencatat.html


Maka dengan menuliskan kembali artinya kita melatih banyak hal. Ada lima hal yang saya catat kenapa harus dituliskan kembali. 


1. Belajar untuk mengonstruksi

Mulai dari menemukan diski yang tepat sampai kemudian belajar menyusun gagasan melalui kata-kata yang efektif.


2. Belajar mengungkapkan hal-hal yang kita pahami

Di sinilah kita diuji untuk mengkomunikasikan atas apa yang telah kita baca. Mengertikah kita apa yang telah dibaca? Bila belum terbiasa, maka gunakan cara free writing dulu. Nanti jam terbang ga akan bohong untuk hasil kok. Asal konsisten saja.


3. Menjadikan kita produsen

Ini analogi yang saya suka nih. Beliau menyamakan orang yang mampu menuliskan apa yang telah dibaca seperti menuangkan air pada tunas tanaman. Bukan seperti teko penuh menuangkan air pada cangkir yang kosong. Menuangkan air pada tunas tanaman akan membuat tanaman itu tumbuh, berkembang dan bermanfaat. Tapi tidak bila menuangkan airnya pada cangkir. Mantab yak. Mana yang mau Anda pilih, mak. Yang nuang air ke tunas atau ke cangkir?


Itulah sedikit cerita yang dimaksud dengan mengikat makna.


Di bagian tengah buku ini, ada empat halaman yang memberikan pembacanya tips keren bagaimana caranya memperkaya diri dengan kata-kata dan meningkatkan kualitas pikiran. Bagaimana cara beliau jadi akhirnya senang membaca hingga kemudian menjadi pembicara dan penulis produktif lagi hebat. Padahal dulunya adalah seorang pria yang pemalu dan tidak percaya diri. Ini keren sangad.


Buku ini saya sangat rekomendasikan untuk semua yang suka membaca belum suka menulis. Suka menulis tapi ga suka baca atau males baca. Ga suka baca ga suka nulis? Duh gimana mau mengikat ilmu, gimana mau berbicara dan mengkomunikasikan dengan baik, bila kita tak mau mengisi diri kita dengan sesuatu? Walau banyak jalan untuk bisa menjadi pembicara yang baik selain membaca, tapi tahukah mak, bahwa banyak sekali kisah orang pandai, sukses itu karena hobi membaca setiap hari minimal 30 menit? 


Karena membaca itu bukan karena

ga ada waktu luang

tapi karena

ga meluangkan waktu

Sumber : https://azkail.com/efek-menulis-di-era-sosmed-detail-425256