Review Film The Theory of Everything
Review Film Lain-Lain
Selasa, 07 Januari 2020"Kecerdasan adalah kemampuan beradaptasi dengan perubahan"
Ungkapan dari seorang fisikawan, alm. Stephen Hawking (76 tahun) ini bikin saya mikir, iya juga ya. Dengan banyaknya perubahan yang terjadi di sekitar kita, butuh kemampuan beradaptasi yang baik. Kalimat itu muncul sepertinya efek dari perjalanan hidup yang telah banyak memberikan perubahan terhadap caranya menjalani hidup selama sakit fisik. Dikenal sebagai seorang fisikawan, Stephen Hawking mampu untuk terus menciptakan ragam teori walau kondisi tubuhnya tak lagi seperti dulu. Dari film biografinya lah kita tahu bagaimana perjuangan seorang Stephen Hawking melewati itu semua. The Theory of Everything adalah film versi kedua yang menggambarkan sosok Hawking. Berarti ada film versi pertama dong?
Ada. Versi film pertama mengkisahkan tentang perjalanan hidup Hawking saat usia 21 tahun didiagnosa penyakit langka. Dirilis tayang pada tahun 2004. Dan aktornya utamanya meraih penghargaan sebagai aktor terbaik dan dinominasikan sebagai film televisi terbaik dalam BAFTA Award 2005. Sebetulnya ada beberapa film dan drama yang mengangkat kisah hidupnya Hawking. Namun ternyata film The Theory of Everything lah yang membuat para kritikus film memuji-muji.
Kalau versi pertama, dilihat dari kacamata Hawkingnya, lain lagi dengan versi kedua yang berjudul The Theory of Everything ini. Buat saya, film yang dirilis di tahun 2014 ini lebih dalam dari pada yang versi pertamanya. Lebih mengaduk-aduk dalam muatan konfliknya yang beragam. Film versi kedua dibuat berdasarkan tulisan dari mantan istri Hawking, Jane Wilde yang berjudul Travelling to Infinity : My Life with Stephen. Jadi penggambarannya banyak mengambil dari sisi istri yang menemani pasangannya. Tahu kah, mak, butuh waktu hampir tiga tahun bagi sang penulis skenario untuk meyakinkan Jane Wilde agar autobiografi mantan suaminya diangkat ke layar lebar.
Autobiografi inilah yang kemudian diangkat ke layar lebar
Film berdurasi 2 jam ini benar-benar dapet banget feel nya loh. Dua pemeran utamanya mampu mengaduk-aduk hati dan pikiran. Bikin sedih bikin baper, bikin cling, bikin sendu, bkin haru, bikin mikir. Belum lagi saat sang pemeran utama laki-laki, Eddie Redmayne keren banget 'menirukan' sang tokoh fisikawan. Mulai dari caranya berbicara, berjalan bahkan saat tersenyum. Maka tak heran ia meraih penghargaan sebagai aktor terbaik, untuk BAFTA Award, Screen Actor Guild, Academy Award dan Golden Globe di tahun 2015. Filmnya juga menjadi film internasional terbaik, skenario adaptif terbaik dan musik asli terbaik. Demikian juga pemeran utama wanita menjadi pemeran wanita terbaik. Keren kan? Ga rugi nontonnya deh, mak.
Oia, pengorbanan pemeran utama laki-laki dalam menurunkan 15 KG berat badan tak sia-sia. Nyaris mirip tubuhnya Hawking saat sedang sakit fisik. Ya, Stephen Hawking, seorang mahasiswa pintar di Cambridge, dalam usia 21 tahun, terkena penyakit langka. Penyakit yang menyerang otak dan melemahkan otot yang lambat laun membuatnya sulit bergerak dan banyak menghabiskan waktunya di kursi roda.
Saat karir dan kecerdasan seorang Hawking sedang di puncak-puncaknya, penyakit Amyothropic Lateral Sclerosis (ALS) pun menyerang. Bayangkan saja mak, mahasiswa aktif yang senang bersepeda dan berolahraga, tiba-tiba mulai kehilangan kekuatan otot untuk menggerakkan anggota tubuh, mulai sulit berbicara, makan hingga kadang sulit bernapas. Berikut ini beberapa adegan yang saya ambil dari film The Theory of Everything.
Bersepeda menjadi rutinitasnya di kampus
ALS menyerang, ia punmulai sulit berjalan
Adegan di bawah ini menggambarkan saat Hawking sedang uji teori big bang di depan para profesornya. Saat itulah ia sudah menggunakan dua tongkat penyangga tubuh. Tak menghalangi untuk tetap belajar, ia terus mencari tahu tentang proses pencitpaan alam semesta dan sejenisnya.
2. grid.id
Komentar