Home / Artikel Ternyata mati suri itu seperti ini rasanya

Ternyata mati suri itu seperti ini rasanya

Ternyata mati suri itu seperti ini rasanya

Cerita Emak

Rabu, 10 Mei 2017

"Awaaass....cepat lariii...dia ada di belakangmu. Lariiiii, jangan menoleh ke belakaaang."
Aku mempercepat langkahku, menjauh dari ruang gelap itu. Entah apa atau siapa yang berusaha mengejar dan menangkapku tadi.  Bayangan hitam itu seolah-olah ingin melahap-lumatkan tubuhku. Aku tidak berani menoleh ke belakang bahkan melirik pun menjadi ketakutan yang teramat sangat mengalir di seluruh aliran darah. Entah dari mana perintah suara itu berasal, namun aku bisa mendengarnya dengan jelas di telinga. Suara itu menyuruhku untuk lari menjauh, menjauh sejauh-jauhnya.  Jantung ini berdetak cepat seakan berkejaran dengan hembusan nafas pendekku. Kau tahu? ada suasana aneh menyelimutiku saat ini. Entahlah....

Tak berapa lama, aku mendengar suara kecil nan lembut yang memanggil, suara ini sangat kukenal baik. "Ika, bagaimana kabarmu nak..., coba lihat dan tengoklah ke belakang, sebentaaar saja." Suara itu mulai membuyarkan ketakutanku seketika. Entah mengapa aku seperti tersihir  untuk mulai melambatkan kecepatan lari ini. Nafas dan detak jantung masih tak beraturan tak berirama. Perlahan kuberanikan diri menoleh ke arah suara. Lamat-lamat ku dengar kembali suara itu memanggil, "Ika, sini nak, ikut dengan kami di sini..." Entah mengapa aku sepertinya kenal dengan suara lembut itu. Rasa takutku berganti dengan rasa penasaran yang membuncah. Aku bergerak ke sosok pria berjubah putih. Ah...bukan jubah putih, beliau mengenakan kain ihrom. Ya Allah, wajah itu sangat ku kenal. Wajah teduhnya selalu membuatku rindu setiap saat. Cerita-cerita patriotiknya saat penjajahan Belanda datang menyerbu rumah beliau masih ku ingat hingga saat ini. Petuah-petuah hebatnya untuk selalu dekat dengan al Quran membuatku selalu rindu dibacakan kisah al Quran menjelang tidur. Wajah teduhnya membuatku tenang kembali, ketakutan berubah menjadi rindu yang mendalam. Eyang kakung melambaikan tangannya, mengajakku untuk pergi ke gerbang besar itu.

Ku beranikan diri mendekati eyang kakung. Kuamati kembali, benarkan ini eyang kakung ku?. Wajahnya tampak lebih muda dari yang ku kenal dulu.  Tampak gagah mengenakan kain ihrom. "Nak, mengapa kamu ada di sini?, ada apa?". Tak kuhiraukan pertanyaan eyang kakung. Pandanganku beralih ke arah belakang eyang kakung. Terdapat gapura besaaaaar sekali menjulang ke langit. Di belakangnya diselimuti seperti asap kabut tipis putih. Tampak sinar putih yang menyilaukan mata bersinar terang dari arah dalam gapura, membuat aku harus mengernyitkan dahi untuk memperjelas orang-orang di bawah gapura itu. Benarkan itu keluarga besarku?. Udara dingin mulai menyelimuti badanku. Rasa seperti berada dalam kolam es, dingin teramat sangat mulai menjalar perlahan. Tak lama, kulihat beberapa keluarga ku melambaikan tangan seraya mengajakku untuk ikut dengan mereka. Pak de Parung, eyang uti, tante ku, tetangga ku, lamat-lamat ku dengar mereka memanggil. Aku terdiam, heran, entah ada apa dan sedang di mana aku tak tahu. Namun yang ku tahu, mereka keluargaku yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu berkumpul semua di bawah gapura besar Sedangkan eyang kakung ada di luar gapura mendekat ke arahku.. "Nak, mengapa kamu ada di sini?". Sekali lagi, pertanyaan eyang kakung kali ini membuyarkanku akan lingkungan saat itu. "Nak, wanita-wanita di luar sana saja bisa menerima dan menjaga titipan yang Allah sudah berikan padamu. Kau tahu? tidak semua wanita diberikan kepercayaan untuk mendapatkan kado syugamu itu dari Allah. Bangun dan pulanglah, didik anakmu kelak dengan cinta dan sabar. Mosok kamu ga bisa mendidik anakmu..., mosok hanya karena anak-anak menangis kau ingin mengakhiri hidupmu dan hidup anakmu. Pulang dan buktikan kamu juga bisa hebat seperti wanita-wanta lain. Jangan ikuti ajakan orang-orang yang ada di gapura itu. Karena saat ini kau harus pulang ke rumah. Pulanglah, kau bisa menjadi ibu yang hebat. Eyang sangat percaya padamu." Seolah-olah mendapatkan suntikan dosis tinggi, aku terhenyak, kembali bersemangat ingin melihat wajah anak-anakku.

Lidahku kelu, tak mampu menjawab sepatah katapun. Seolah eyang kakung mengerti perasaanku saat itu. Dan tiba-tiba tubuhku terasa terbang, melayang tak menapak, pergi menjauhi tubuh eyang kakung. Tanganku berusaha menggapai-gapai tubuhnya seraya berteriak tanpa bisa mengeluarkan suara. Namun senyumnya terus membersamai kepergianku, menjauh, menjauh dan semakin menjauh. Kabut tipis itu semakin pekat, sosok berbaju ihrom pun mulai hilang dari pandangan.

"Ma, mama...bangun ma... si adek sudah sehat ma, anak-anak sudah gapapa ma...". Aku merasakan ada goncangan di wajah dan badanku. Suara yang sangat ku kenal. Orang yang selama ini telah mendampingiku selama 10 tahun. Mata ini berat sekali untuk kubuka. Namun sayup-sayup kudengar suara perempuan berkata: "Siapkan oksigennya, pasien sudah kembali." Suara derit alat-alat medis, langkah kaki para suster mulai membangunkanku. Kulihat suamiku menangis hebat di samping kanan tubuhku. Rasa cinta mendalam terlihat di binar matanya yang basah saat mata kami saling bertatapan. Seolah berterima kasih karena aku telah kembali. Kuraih tangannya, kugenggam erat. Tatapan mata kami menyiratkan banyak makna. Dan aku mulai menangis bahagia seraya berkata: "Maafkan mama ya..."

===========================================================

Mengenang 17 tahun lalu saat melahirkan si sulung. Pengalaman 'kembali hidup' yang memberikan nilai tambah untuk selalu ingat pada Allah, ingat untuk apa dan mengapa kita yang dipilih menjaga buah hati kita. Nikmati, jalani dan syukuri hidupmu saat ini.

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar

Jejaring Sosial