
Kau Wulan dan Aku Bintang
“Awaaas...! Mereka ada di belakangmu, cepat lariii.”
“Bintaaang, cepat ambil tas ini, tangkaap!” Dengan sigap dan sedikit melompat, hup! aku berhasil menangkap tas hitam pemberian Wulan.
“Hey! Jangan bengong, cepet lariii, mereka ngejar tas itu, kita bertemu di rumah hijau ya, Mbak.” Sambil berlari, Wulan memintaku untuk bertemu di base camp kami. Dan dengan lincahnya, ia mulai bergerak melompat, berlari dan sesekali menerobos lihai di sela-sela orang lalu lalang di lorong sempit ini.
Ah, lagi-lagi aku tak kuasa menolak lalu mengikuti kemauannya.
“Hey, itu dia anaknya. Sebelah sini wooy...”
Duh, persembunyianku di balik papan hitam ini ternyata bisa terlihat oleh mereka. Gawat.
“Hey, orang jelek bertatooo, lihat sini...aku di sini...”
“Itu dia di sana, cepet kejar dia...”
Oh, tidak, itu suara Wulan. Sepertinya dia berniat mengecoh para lelaki yang mengejarku. Aah, errornya sedang kumat, nekatnya muncul di saat aku ketakutan seperti ini. Empat orang laki-laki tinggi besar, bertato, yang sedari tadi mengejarku, ‘dilawan’ oleh anak remaja bertubuh mungil seperti Wulan. Entah apa lagi yang akan dilakukannya kali ini.
Kemarin, saat mengejar dan berhasil menangkap pencopet di pasar saat menemani mama belanja, dia bikin heboh orang se-pasar karena kelihaiannya dalam lari dan loncat sana sini. Latihan parkour yang diikutinya, memberikan dampak luar biasa pada perubahan sikap Wulan selama ini. Ia semakin ringan tangan, empatinya cepat muncul saat melihat orang lain berada dalam kesulitan.
Entahlah, padahal setelah melihat kejadian kemarin, aku bertekad akan merubah kebiasaanku yang selalu manut apa yang diminta oleh Wulan. Namun, lidah ini masih saja kelu untuk mendebat dan mengatakan aku tidak mau lagi mengikuti apa yang diinginkan Wulan padaku. Walau sakit rasanya bila ingat mama yang selalu memuji Wulan di depanku. Menceritakan kehebatan Wulan di depan teman-teman mama, padahal aku ada di dekat mama, Wulan pun diam saja. Kalau ingat itu, sedih rasanya. Wulan selalu hebat di mata mama, sedangkan aku tak bisa melakukan apa-apa. Keberadaanku seolah-olah lenyap ditelan bumi bila bersama mama, orangtua tunggal kami. Sehingga aku lebih memilih untuk diam dan menuruti semua ucapan adikku. Entahlah, mungkin karena aku terlalu mencintai mereka.
Hatiku berdegup kencang. Kudengar lamat-lamat derap kaki dan teriakan mereka semakin menjauh dari tempat persembunyianku. Ya Allah, semoga Wulan baik-baik saja. Aku segera keluar perlahan dari belakang papan hitam ini. Duuh, ternyata papan ini berat juga. Tiba-tiba, “Buuuggg!!!”, sesuatu yang berat menghantam kepala bagian belakang. Aku tersungkur, jatuh. Sambil memegang kepala, aku tetap berusaha bangkit dan menjauh dari orang yang ada di depanku. Samar-samar kulihat dua sampai tiga orang laki-laki berperawakan besar kemudian mendorongku kasar sekali.
Tak lama pandanganku mulai kabur dan tiba-tiba semua menjadi gelap.
-bersambung-
Komentar