Home / Artikel Kau Wulan dan Aku Bintang

Kau Wulan dan Aku Bintang

Kau Wulan dan Aku Bintang

Cerita Emak

Sabtu, 27 Mei 2017

"Ayo, lekas bangun, paksa dirimu untuk bangun, lekaaas, kita harus segera pigi dari sini."


Belum selesai aku terperajat melihat wajah mamak yang berlumuran darah, tiba-tiba, tangan mamak sudah menarikku keluar dipan. Mamak mengangkat punggungku, memaksaku untuk segera bangkit dari dipan tua ini. Ahh, sakit sekali punggung dan kepalaku. Duh, terasa berat, pusing , mataku mulai berkunang-kunang.


"Mereka datang lagi, ayo, berdiri nak, berdiri."


"Ada apa ini, mak? Kenapa dengan wajah mamak? Siapa mereka? Mengapa mereka memukuli Bagas juga? Ada apa ini?"

Tak ada satu pun pertanyaanku yang terjawab.


"Nak, bantu mamak menarik tuas ini, lekas!"


Mamak memintaku menarik tuas kecil yang ada di balik lemari tua. Ughh, berat sekali, tak bergeser sedikitpun. Teriakan kesakitan Bagas terdengar makin jelas. Mamak mulai menangis sambil berusaha menarik tuas itu bersamaku. Entah apa yang sedang terjadi di luar sana.


"Kreeeek....ciiiitt..."


Sebuah pintu kecil terbuka dari belakang meja di samping lemari. Terlihat jalan kecil nan gelap menuju keluar rumah. Kanan kirinya ditumbuhi semak belukar yang sudah tinggi. Mamak menarik tanganku untuk menerobos semak belukar itu. Aku mulai mengikuti mamak, membungkuk, menerobos di bawah meja menuju jalan itu. Tak lama setelah berada di luar, tangan kanannya berusaha meraih sesuatu. Aah, mamak berusaha menarik satu buah akar pohon besar yang menggelantung tak jauh dari pintu kecil tadi. Tiba-tiba saja pintu itu tertutup kembali.


"Praaak." suara pintu tertutup yang cukup keras untuk ukuran pintu sekecil itu.


"Wah, ternyata ada jalan tembus dibalik lemari dan meja tadi di dalam kamar mamak yang kutinggali selama ini." gumamku dalam hati.

Mamak terus menarikku, mengajakku menjauh dari rumah biliknya sambil terus berlari. Darah di wajahnya mulai tampak mengering. Tak terlihat sedikitpun rasa sakit di wajah teduhnya.


"Ini mau kemana, mak? Ada apa ini?"


"Kita harus menjauh dulu dari rumah, nak. Kita akan selamat bila sudah berada di kampung itu." Seraya menunjuk ke arah lampu-lampu temaram, lampu-lampu di rumah penduduk di depan kami.


Tak lama, kami mulai melambatkan kecepatan lari, sesekali mamak melihat ke arah belakang. Mengamati, apakah kami diikuti atau tidak. Matanya seolah-olah mencari Bagas yang masih tertinggal di rumah itu. Ada apa ini? Bagas, bagaimana dengan Bagas sekarang? kenapa mamak meninggalkannya sendirian dkeroyok orang-orang itu?.

Pohon-pohon bambu ini membatasi jalan kecil tadi dengan perkampungan penduduk yang terlihat sepi. Mungkin mereka masih tertidur di waktu seperti ini. Entah lah. Tak ada orang satu pun yang terlihat keluar rumah. Gelap sekali.


Lamunanku terputus. Ya Allah, daerah apa ini. Aku belum pernah melihat lingkungan seperti ini. Langkahku makin melambat, pandangan kuputar ke kanan dan kiri jalan. Ada perkampungan yang ramai penduduk namun belum tersentuh aliran listrik!. Aku belum pernah tahu daerah ini selama aku tinggal. Kalau benar ini dekat dengan tempat kos-an ku selama ini, miris sekali rasanya, melihat ada satu perkampungan yang tak tersentuh listrik. Berdekatan dengan kampungku. Ada sekitar puluhan rumah di sini, tak satupun listrik yang mengalirinya. Kemana pemerintah selama ini.


"Ayo masuk." Ajak mamak.


Mamak mengajakku memasuki salah satu rumah itu. Gelap, sangat gelap. Di rumah bilik sederhana ini hanya ada satu lampu teplok. Mamak menyuruhku untuk duduk. dan tak lama, seorang bapak tua yang membawakan satu lampu teplok menemui kami di ruang tengah. Mamak dan bapak itu terlihat sudah saling kenal lama. Mereka berbicara serius menggunakan seperti bahasa China. Tak ada satu kata pun yang aku mengerti. Sesekali mereka berdua berhenti bercakap-cakap sambil melihat ke arahku. Entah apa yang dibicarakannya.


Mataku mulai menyasar ruangan tempatku duduk. Oh, mataku harus terbuka lebar untuk dapat melihat jelas. Duh gusti, sedih sekali melihat kondisi ini. Aku di rumah selalu marah-marah sendiri bila tiba-tiba listrik padam. Mati gaya kalau mati lampu. Namun sekarang, aku merasakan ada yang lebih sulit hidupnya bila tak ada lampu penerangan. Betapa tersiksanya aku kalau lampu tba-tiba padam. Di sini, sehari-hari mereka tidak ada lampu listrik pun yang masuk ke kampung ini. Negeri tercintaku ternyata seperti ini.


"Sejak mamak kecil, kampung ini memang belum dialiri listrik, nak."

Seolah mengerti, mamak mulai bercerita.


"Kami sudah sering mengajukan ke pemerintah terkait untuk membantu mengaliri listrik, namun belum ada realisasinya hingga sekarang. Banyak anak-anak muda kampung kami yang kemudian kami kirim untuk belajar ke kota. Kami berharap, saat mereka pulang nanti, mereka bisa membantu memperbaiki kondsi kampung ini dengan kemampuan mereka. Semoga." Jelas mamak.


Harapan yang sama yang kuinginkan untuk negeriku. Pemuda-pemudi mengenyam pendidikan untuk kemudian kembali membangun negeri. Belum selesai kubisikkan harapanku, tiba tiba...,


"Fuuuhh .... "


Lampu teplok ditiup oleh mamak.


"Ada yang datang. Jangan bersuara. Tetap di sini kau, nak." suaranya yang berbisik memecah keheningan malam itu.


Ya Allah, ada apa lagi ini?


-bersambung-

sumber informasi : http://nasional.republika.co.id/…/o5mj8i361-12-ribu-desa-be…

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar

Jejaring Sosial