Home / Artikel Kau Wulan dan Aku Bintang

Kau Wulan dan Aku Bintang

Kau Wulan dan Aku Bintang

Cerita Emak

Sabtu, 27 Mei 2017

"Wulaaan...tungguuu...heei, jangan lewat situu, bahaya! Wulaaan!"


"Hahaha..."


Wulan tertawa lepas, tanpa menghiraukan peringatanku. Jalan bebatuan licin di depannya tak menjadi penghalang untuk terus berlari menuju sungai di ujung jalan setapak ini. Lalu tiba-tiba "Byuuur..."


Aku mendengar suara benda berat jatuh ke dalam air. Oh tidaak, apa itu Wulan tergelincir dan jatuh ke sungai? Aku tidak berani membayangkan. Sejak kecil, adikku ini senangnya berlari, lompat sana lompat sini. Hanya tidur yang mampu menghentikan gerak badannya yang selalu on.


"Wulaaan, di mana kamuuu? Wulaan..."


Aku panik, berteriak memanggil namanya beulang kali sambil mempercepat langkah kaki ku ke ujung jalan ini.


"Hai kaaak... aku di sini."


Aku mencari sumber suara, oh, ya Allah, dia ada di tengah sungai. Badan mungilnya mengapung sambil sesekali kedua tangannya digerak-gerakkan ke bawah untuk menyeimbangkan badannya agar bagian kepala tetap berada di atas. Oalaah, anak ini selalu membuat jantungku berdegup keras. Ada saja olah tingkahnya yang membuatku geleng-geleng kepala.


"Sini kaak, airnya dingiin, segeer, sungainya ga dalem kook."


Ajakan Wulan kuabaikan. Pandanganku tertuju pada indahnya sekeliling sungai. Bayangkan!, sungai ini begitu lebar, kira-kira 20 meter lebarnya, tapi airnya sangat jernih dan dangkal. Paling dalam ada di area Wulan mengapung yang dalamnya hanya kira-kira satu meteran saja. Aneka bebatuan di dasar sungai jelas sekali terlihat. Bila kau hadapkan wajahmu ke arah hulu, gunung menjulang tinggi nan hijau bersih akan menjadi latar cantiknya aliran sungai ini. Lihat! Tinggi tebing sungai ini pun ikut memanjakan mata. Kira-kira 10 meter tingginya kau akan lihat ada aneka warna tanah dan bebatuan yang terlihat jelas. Setiap kami ke sungai ini, ibu selalu bercerita tentang lapisan tanah itu. Ahh, aku rindu ibu.

Selama Wulan berenang dan bermain air. Aku cukup menikmati pemandangan sekeliling ini dengan tenang di bibir sungai. Suara air sungai ini seolah mengerti kalau aku rindu pada ibu. Kampung halaman ini terasa sepi buat ku saat ini.


"Wulaaan, Bintaang, ayo pulaang, sudah sore, sudah menduung."


Bu lek ku sudah memanggil dari seberang sungai. Wulan pun bergegas menyudahi permainan airnya. Kami pun mulai berjalan menyebrangi sungai. Celana panjangku basah sudah naik setinggi lutut, ini artinya air sungai mulai naik. Mungkin di hulu sana sedang hujan.


Jalan menuju rumah eyang harus melewati hutan bambu. Hutan yang bersebelahan dengan taman pemakaman keluarga dan leluhur kami. Suara gesekan daun bambu saat kami melewati areal pemakaman, kadang masih saja membuat bulu kudukku berdiri. Wulan mempercepat langkah kakinya mendahuluiku. Dia tak mau berada di barisan belakang. Ah Wulan...


Tak lama, ujung genteng pendopo rumah eyang mulai terlihat. Rumah pendopo ini berusia ratusan tahun mungkin. Aura zaman dahulu, masih terasa di hati kami setiap memasuki halaman rumah pendopo. Pintu kayu berbentuk kupu tarung yang sangat lebar dan terasa berat bila kau buka, akan menyambutmu di area depan pendopo. Lantai tanah dan empat tiang kayu besar yang berukir naga akan menemanimu selama kau berada di dalam ruang pendopo itu.


Menurut bu lek, saat bu lek masih kecil, pendopo seluas ini adalah ruang tamunya eyang uyut kami. Pendopo, tanpa dinding yang melindunginya seperti sekarang ini. Ruang pendopo ini adalah nyawa bagi keluaga besar kami. Ruangan yang mampu menjadi magnet, mampu mendatangkan seluruh keluarga besar yang telah tersebar di berbagai sudut kota di Indonesia setiap tahunnya. Di ruangan ini pula kami tahu sejarah daerah Mojorejo Gorang Gareng, Madiun, Di ruangan in pula kami sering mendengarkan eyang uti mendongeng tentang kondisi lingkungan yang kadang penuh mistis. Di pendopo ini juga kami bisa bertahan hingga larut malam kalau eyang uti sudah bercerita tentang pasukan berkuda, hilangnya batu pagar besar depan rumah dalam semalam, suara lonceng yang berbunyi dari arah sungai bila air bah akan datang dan cerita seru lainnya. Entahlah, aku mulai merindu, sangat.


Di bagian belakang pendopo ini terdapat dapur yang sampai saat ini masih menggunakan kayu bakar saat memasak. Mempertahankan rasa dalam mengolah makanan itu perlu bahan bakar kayu yang baik, begitu kata eyang saat kutanya kenapa masih menggunakan kayu bakar saat memasak.


Tak jauh dari dapur tadi, terdapat sumber mata air, yang waktu aku kecil, bisa diciduk menggunakan gayung. Saat ini pun masih seperti itu, hanya cidukannya mulai agak dalam. Air bersih, jernih dan segar yang tak pernah berhenti mengaliri rumah-rumah sekitar pendopo ini. Aah, aku suka sekali kalau kembali ke kampung halamanku.


"Bintaang, kenapa kamu ada di sini, nak? mana ibumu, mana Wulan?"


Tiba-tiba aku dikagetkan suara eyang putri dari dalam ruangan. Eyang putri? kok ada di sini? bukannya eyang putri sudah meninggal? Ada di mana aku ini?


-bersambung-

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar

Jejaring Sosial