Home / Artikel Program Belajar Kenali Gadgetmu untuk Generasi Baby Boomer

Program Belajar Kenali Gadgetmu untuk Generasi Baby Boomer

Program Belajar Kenali Gadgetmu untuk Generasi Baby Boomer

Projek Keluarga

Senin, 07 Februari 2022

“Ini caranya buka chat di zoom, gimana?”

“Loh, kok layarnya hitam? Gimana cara nge balikinnya lagi?”

“Kalau mau lihat siapa aja yang sudah masuk zoom, gimana carany?”

“Kalau mau kirim gambar via WA ke orang, pencet yang mana ini tombolnya?”

“Cara setting in alarm biar bunyi setiap jam 3 pagi, gimana caranya?”


Mengenal teknologi dalam genggaman

Pernah ga sih ketemu orang yang memiliki tantangan serupa cuplikan obrolan di atas? Atau jangan-jangan Anda sendiri yang mengalaminya? Hehehe.. tenaang, melihat dan merasakan tantangan yang mereka rasakan saat akan berkomunikasi kekinian, tentu ingin sekali mengenalkan teknologi dan kemudahannya. Masalahnya adalah apakah mereka mau ya?


Berangkat dari kejadian-kejadian serupa di atas, akhirnya muncullah sebuah projek belajar sederhana agar mengenal dengan gadgetnya sendiri. Buat orang-orang generasi baby boomer yang lahir antara tahun 1965-1976, biasanya gadget itu hanya sebatas komunikasi teks dan lisan aja. Fungsi-fungsi keren lainnya tak banyak dimanfaatkan. Lebih karena dua hal, tidak tahu kalau gadgetnya punya manfaat lebih dan takut salah, takut rusak dan takut-takut lainnya. Ini terjadi pada beberapa orang terdekat kami di rumah. 


Akhirnya program belajar fleksibel pun dilakukan. Kami jadikan tantangan dalam rumah ini menjadi projek keluarga. Azka, Ailsa dan saya sendiri mulai lebih intesns memberikan pengalaman belajar secara acak. Artinya materi belajar disesuaikan dengan kebutuhan langsung yang diminta bukan dari program yang memang sudah kami siapkan. Ini dilakukan ternyata lebih mengena karena berangkat dari kebutuhan yang perlu segera dilakukan. Ok, urutan materi jadi mungkin perlu disesuaikan kembali. Menarik sih. Karena akhirnya customize materi gitu. Proses belajar mengenal gadget masing-masing antara ayah dan eyang jadi berbeda, misalnya.


Tantangan berikutnya adalah menyelesaikan rasa khawatir yang menurut anak milenial tuh tampak berlebihan, tapi menurut generasi baby boomer itu luar biasa sulit.  Gap teknologi ini yang menarik perhatian saya pribadi untuk mendekatkan teknologi dengan kehidupan mereka. Terlihat sepele buat si milenial tapi besar buat si baby boomer. Khawatir gadgetnya rusak, kalau sudah rusak diperbaiki harganya bisa mahal. Khawatir nomor kontaknya bisa hilang karena salah pencet. Khawatir salah pencet satu tombol berefek pada hilangnya data yang ada di gadget mereka. 


Proses belajar ini sudah berlangsung dua bulan. Jangan lihat durasinya ya mak. Ini tuh jadwal terlama untuk proses belajarnya buat mereka loh. Udah keren banget. Karena mengajarkan cara forward WA aja bisa satu pekan lebih. Lagi-lagi karena khawatir salah pencet kadang eh seringnya lupa tombol mana yang harus dipencet. Sederhana banget kan? Tapi memang harus berulang. Kondisi seperti ini saya menggaet anak-anak untuk menjadi mentornya. Tak lain biar terjadi percakapan kekinian saat mengikat bonding yang dibungkus dengan proses pembelajaran mengenal gadget ini.


Apa progressnya hingga hari ini?

Agak sulit mengukurnya karena belajarnya masih acak sesuai dengan permintaan dan kebutuhan mereka. Tapi dari yang sudah tampak hingga hari ini tuh, sudah tidak terlalu khawatir salah banget gitu. Mungkin karena praktek langsung, berulang dan sesuai dengan yang memang dibutuhkan banget oleh mereka.


Apa yang saya dapatkan?

1. Program ini perlu dilanjutkan dan dievaluasi kembali. Terutama terkait pemberian materi dan frekuensinya menjadi agak panjang. 


2. Karena sudah berjalan cukup lama, beberapa teman yang ternyata juga masuk di generasi baby boomer pun ingin terlibat langsung dan belajar bersama. Padahal kami belum membuka tawaran belajar, baru sebatas pilot project keluarga saja. Tapi bisa menjadi bahan pertimbangan bahwa ada loh di luar sana yang memiliki tantangan yang sama. Hidup di jaman penuh kemudahan dalam berteknologi di genggaman, tapi mereka tak kuasa mengikuti perkembangannya.


3. Bonding kuat antara ayah-anak-eyang dan cucu

Ini beneran loh. Ruang diskusi terbuka dan topik obrolan pun mulai makin menarik, karena yang satu butuh belajar yang satu lagi mengajarkan sesuatu yang mereka sangat kuasai. Ada rasa bahagia saat eyangnya bisa membedakan foward dan sharing gambar WA. Receh? Iya, tapi bahagianya ga kebeli, Mak. 


Jadi, jangan pernah meremehkan tantangan yang muncul di sekitar kita. Sereceh apapun menurut kita ternyata bermanfaat buat orang lain. Dan kita akan dibuat takjub dengan prosesnya. Percayalah, tak ada yang mengecilkan apa yang akan kita lakukan selama kita memang tidak mengecilkan peran yang kita ambil.


Yuk, kita urai dan selesaikan satu persatu tantangan 'receh' yang ada di sekitar kita. Siapa yang tahu kalau ternyata itu akan membawa manfaat untuk orang lain, yekaaan.


Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar

Jejaring Sosial