Home / Artikel Review Buku Digital Minimalism-Cal Newport

Review Buku Digital Minimalism-Cal Newport

Review Buku Digital Minimalism-Cal Newport

Review Buku lain-lain

Rabu, 17 Maret 2021

Dan akhirnya,
“Bun, baca buku ini deh. Bunda kan sering medsos-an, sering pake internet.”


Wakwaww…


Sore itu, mas Azka nyodorin buku kuning. Judulnya bikin saya ndadak sakit gigi, dan menarik menggelitik banget untuk dibaca. Digital Minimalism-Choosing a Focused Life in a Noisy World. Menarik banget kan judulnya. Cal Newport, sang penulis buku, membuat saya kemudian lanjut buka-buka sikit isi bukunya. Ya Allah, gusti, boso londo kuabbeh :D. Sudah lama banget saya ga baca buku non fiksi berbahasa Inggris. Kalau yang boso londo gitu, biasanya baca buku bergenre novel atau artikel yang ga panjang kali lebar gitu, yang ga mikir dalem dah pokoknya. Lah ini tentang non fiksi kekinian. Duh, emang kudu naik kelas nih mamak ya.


Belum lagi prolognya mas Azka saat saya menerima buku itu,

“Bun, yang ditulis di buku itu tuh lagi banyak jadi bahan diskusi di luar sana bun. Lagi happening sejak tahun 2019 pas buku ini naik cetak. Gerakannya terhadap digital minimalism banyak mendapat sambutan positif dari nitizen”.


Ya Allah, itu dua tahun lalu, dan saya baru baca bukunya, basi dong eikeh. Kemane aje maak. Owh, oke, baiklah mas. Bunda tak pelan-pelan baca buku bergizi ini ya. Bari ketip-ketip matanya memandang buku kuning itu plus alis yang naik turun.


Jadi ya, mak.

Semenjak mas Azka kuliah online di rumah, kami jadi sering diskusi banyak hal. Mulai dari yang receh ala mamak-mamak, macem tempat kost sekitar kampus, tempat kulineran di Surabaya, makanan termurah hingga tergokil yang pernah dicoba sampai obrolan sersan seputar teknologi kekinian dan isu yang mengiringinya. Berasa makin terbuka informasi kekinian soal data science, teknologi terbaru dan sejenisnya.  Bukan tanpa alasan mas Azka kasih ke saya buku itu. Dia tahu persis kalau mamaknya suka ngulik aplikasi, sering di depan leptop dan banyak ‘mainannya’ di internet melalui gadget. Maka saya bersyukur banget dapet amunisi daging kek gini, walau kudu tarik napas puanjuang untuk mulai membaca buku ini.


img-1615951915.jpg


Dan akhirnya, kelar juga ini buku. Hahaha. Jangan tanya berapa hari ya. Lama dah pokoknya. Selain karena perlu menyesuaikan bahasa, bolak balik buka kamus (ini ga boleh ya, padahal mah ga perlu paham per kata kecuali kata itu adalah kata kunci. Pahami saja konteks kalimatnya), juga diselingi banyak diskusi seputar issue di buku ini sama mas Azka, Ailsa dan paksu.


Buku ini menjadi trending topic dalam beberapa minggu di keluarga kami. Kami semua termasuk user teknologi, jadi obrolan tentang hal ini penting dan mendesak untuk diangkat. Apalagi sekarang kuliah pun secara daring. Jadi misaal, baru baca setengah bab, saya tanya tinyi ke mas Azka yang memang sudah baca. Lalu ngobrol ngariung bareng tentang maksud di bab itu. Buku ini seolah menjadi pembuka dan pemicu obrolan kami seputar teknologi dan pemanfaatannya. Emang kek gimana sih isi bukunya? Aiih, baiknya baca aja biar dapetnya holistik dan komprehensif ya. Taapi, tenaang, saya akan review sedikit tentang isi buku ini. Yuk, kita cari tahu isi bukunya seperti apa sih, biar mamak juga melek dunia dan belajar bareng saya yaa.


Siapa sih Cal Newport


Sang penulis, yang bernama Calvin Newport adalah seorang profesor komputer sains di universitas Georgetown yang ga punya akun media sosial kecuali blog dan podcast. Seorang penulis yang telah menerbitkan buku-buku bestseller di penerbit raksasa di Amerika, sebut saja buku Sevens Book, A World without Email, Digital Minimalism (ini yang mau tak review), Deep Work dan The Time Block Planner. Keren-keren ya bukunya. Kayaknya berbobot banget isinya.


Newport adalah orang yang fokus mengupas tentang digital teknologi dan kultur yang mengiringinya. Lihat saja judul buku-bukunya di atas tadi. Percaya ga, itu buku-bukunya sudah diterjemahkan ke dalam 35 bahasa loh. Makin terkenal di seantero dunia karena buku Digital Minimalism menjadi buku yang paling banyak dibaca dan didisukusikan banyak kalangan. Sayangnya, sampai saya menulis review buku ini, saya belum menemukan terjemahan Digital Minimalism. Mungkin nanti kalau sudah ada di Indonesia, saya mau juga baca lagi, lebih ngendonesia gitu. Mengurangi buka kamus dan jeda membaca terlalu lama.


Kalau membaca perjalanan karirnya, Newport memang seorang pendidik yang fokus pada teknologi digital. Materi yang sering dibawakan baik sebagai dosen atau pemateri itu seputar alogaritma, math method for computer science dan sejenisnya. Maka wajar, saat Newport menuliskan tentang Digital Minimalism itu sampai dalem banget yang kemudian menjadi virus diskusi baru di banyak kalangan.

 

img-1615952882.jpg

Sumber foto : https://www.calnewport.com/about/ 


Apa Yang Diceritakan Di Buku Ini ?

Buku keren yang terbit pada tahun 2019, dicetak pertama kali oleh New York Portfolio Pinguin Publisher. Buku dengan tebal 304 halaman yang menjelaskan filosofi ‘sederhana’ tentang apa itu digital minimalism dan bagaimana kita menghadapinya dengan cara yang cerdas. Buat saya yang awam istilah teknologi dan data, perlu berhenti berjenak-jenak kalau menemukan istilah baru. Saya perlu mengkonfirmasi ke mas Azka, apa sih maksudnya.


Secara sederhana, buku ini sebetulnya membantu kita untuk bisa memanfaatkan teknologi dengan sebaik-baiknya. Memberikan kita cara menemukan kembali udara segar dalam beraktivitas real di kehidupan. Jangan hanya larut dalam layar datar. Menurutnya, banyak loh yang bisa kita lakukan secara nyata alih-alih kita larut di depan layar datar. Ini bener banget. Bagian awal buku, ia menceritakan tentang problem yang terjadi seputar teknologi serta efek pada kehidupan realnya. Bagian kedua menjelaskan apa yang sebaiknya dilakukan untuk bisa melakukan digital minimalism.


Bagian pertama buku ini yang menarik banget. Karena penjelasan sang profesor membuat mata saya melek dan kepala manggut-manggut, teruwow gitu dengan caranya menjelaskan. Diawal memang agak berat bacanya, karena diksi yang digunakan nyaris ilmiah banget cara menjelaskannya. Tapi lama kelamaan, otak kemudian bisa mengikuti ritme penjelasannya.


Sekarang hitung penggunaan kita menggunakan gadget, berapa jam sehari? Dua jam? Empat jam? Atau lebih dari itu?


Selama waktu online, apa yang kita dapatkan? Apa sekedar nyekrol berita tanpa tujuan yang jelas? Atau  ada hal lain yang memang disengaja untuk membuka layar datar?


Apakah kita pernah merasa khawatir ketinggalan informasi di gadget yang kemudian menyebabkan kita sering kali membuka gadget, media sosial atau aplikasi berkomunikasi lainnya?


Lalu cek di gadget kita, ada berapa aplikasi yang sudah didownload? Apakah semuanya digunakan setiap hari ?


Buku ini memberikan kita strong why mengapa kita perlu decluttering digital technology. Ini yang kemudian saya paham, mengapa mas Azka membuka diskusi tentang big data, data science dan digital minimalism pada kami sekeluarga, bahkan eyangnya pun diceritakan tentang hal tersebut.


Newport mengajak kita untuk fokus pada hal-hal kecil. Sesuatu yang sebetulnya bisa kita optimalkan secara luring saat jam daring. Mengoptimalkan agar tak melewatkan dan kehilangan sesuatu yang jauh lebih besar dari ‘sekedar’ scrolling aplikasi di gadget tanpa tujuan. Jadi, kalau mau memanfaatkan sebuah aplikasi, pikirkan matang-matang, apakah ini akan memberikan manfaat besar untuk kehidupan kita atau tidak? Apakah aplikasi ini akan setiap hari digunakan atau tidak. Bila tidak, maka segera buang dan abaikan.


“Digital minimalism definitively does not reject the innovations of the internet age, but instead rejects the way so many people currently engage with these tools.”


― Cal Newport, Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World


 Dari semua bahasan yang dituangkan Profesor yang berusia 38 tahun ini, ada cara menarik yang membuat saya tertarik. Cara yang ditawarkan Cal Newport terkait bagaimana sih caranya mempraktekkan digital minimalism itu. Simak deh.


1.      Lakukan Decluterring Digital

Yes. Ini yang paling seru. Mbuang-mbuangin aplikasi yang ga guna di gadget. Atur gadget screen. Mulai dari gawai, PC, Leptop hingga tablet. Download hanya yang memang dibutuhkan saja. Kalau untuk sesekali penggunaannya, hapus, buang, dan hempaskan. Mangaaats maaak. I feel you kalau untuk urusan mbuang-mbuangin. Hahaha. Etapi beneran loh, ponsel tuh jadi enteng, ringan, langsing dan singset loh. Caya deh.


img-1615956380.jpg

sumber foto: https://blog.4tests.com/ 


2.      Ambil jeda selama 30 hari

Waw, ini tantangan banget loh, bayangkan saja, selama 30 hari kita menjauh sejauh-jauh nya dari gadget dan turunannya. Bahkan disitu dituliskan, 90% harus menjauh dari gadget. Jadi ga ninggalin banget ya, mak. 10% aja kita fokus time screennya ke urusan digital.


“Solitude Deprivation A state in which you spend close to zero time alone with your own thoughts and free from input from other minds.”


― Cal Newport, Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World


Bahkan ada istilah solitude deprivation yang dilontarkan Newport. Solitude itu artinya ‘menyepi’, menyendiri. Maksudnya di buku ini adalah memberikan pada otak untuk ‘ga ngapa-ngapain’. Ga mikir yang berat-berat. Hingga sampai di satu titik, memikirkan apa yang sudah dilakukan dan akan dilakukan. Macem muhasabah lah ya. Biasanya kan kalau kita menyendiri, kita banyak mengeluarkan ide, berpikir atau merefleksikan sesuatu. Nah, Newport menyarankan untuk ambil jeda ga ketemu dengan gadget selama 30 hari berturut-turut.


Lah, trus ngapain dong? Ya di sinilah tantangannya. Otak kita perlu istirahat dari tsunami informasi yang dengan amat sangat cepat bisa kita temukan dan dapatkan dengan sangat mudah. Maka kita bisa melakukan aktivitas produktif seperti yang disampaikan Newport untuk mengubah kebiasaan buruk digital antara lain seperti hal ini nih :


a. Buat jadwal aktivitas fisik yang akan dilakukan saat menjauh dari gadget, dan konsisiten melakukannya.

b. Jalan-jalan tanpa gadget, tinggalkan gadgetmu saat keluar rumah.

c. Bertemu dengan orang lain di café, warung bakso, ngobrol atau ngundang makan dengan tetangga.

d. Menulis surat untuk diri sendiri (journaling)

e. Di kantor, bila ada perlu dengan sesama pegawai, samperin, berkomunikasi langsung, jangan via gadget

f. Gunakan keterampilan untuk menghasilkan sesuatu yang berharga secara physical world. Yang suka masak, asah keterampilan masaknya dengan mencoba menu-menu baru. Yang suka membaca, buat tantangan bagi diri sendiri untuk memiliki target membaca. Dua contoh ini sih dari saya ya. Kan kita diminta untuk mengasah keterampilan kembali.

g. Perbaiki atau asah satu keterampilan setiap satu minggu

h. Ikut komunitas. Nah, ini juga bisa menjadi pilihan aktivitas nih. Buat yang suka nulis, ikuti komunitas menulis. Yang suka masak, ikuti komunitas yang memiliki hobi yang sama. Biasanya kan suka ada meet up atau kegiatan lain. Ini bisa menjadi pilihan alternatif kita saat sedang menjauh dari gadget.


Kalau Anda belum siap melakukan jeda 30 hari seperti diatas, mungkin cara yang dilakukan mas Azka ini bisa menjadi alternatif mak. Cara mengelola screen time   Ini adalah oleh-oleh dan praktek mas Azka setelah mengetahui tentang digital minimalism sejak beberapa tahun belakangan. Ini juga sudah menulari kami di rumah.


 3.      Pengenalan kembali teknologi

Yess, setelah selesai jeda 30 hari, atur gadget screen kita. Patuhi aturan pribadi tersebut terkait teknologi dan pemanfaatannya. Pilah dan cek kembali mana yang perlu dimanfaatkan di gadget kita. Jadi seperti sedang me reset ponsel ke default pabrikannya gitu. Ponsel kembali fitri, kembali suci tanpa ada aplikasi download dan lainnya.


Manfaatnya untuk saya


Investing energy into something hard but worthwhile almost always returns much richer rewards.



— Cal Newport


Ya, setelah membaca buku ini, dalam banyak hal, saya sepakat. Bahwa kita adalah tuannya gadget. Sudah sepantasnya kita yang mengatur seluruh proses, penggunaan dan pemanfaatan teknologi. Bukan malah diperbudak teknologi. Aktifitas fisik itu jauh lebih banyak mengaktifkan otak kita dengan jauh lebih baik dari pada saat berkomunikasi secara daring. Saat berkomunikasi secara fisik, otak kita aktif bergerak dan menangkap tak hanya bahasa lisan namun juga bahasa tubuh hingga kondisi sekitar saat komunikasi terjadi.


“Face-to-face conversation is the most human--and humanizing--thing we do. Fully present to one another, we learn to listen. It's where we develop the capacity for empathy. It's where we experience the joy of being heard, of being understood.”


― Cal Newport, Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World


Yang bikin deg-deg an adalah bahwa sebetulnya, secara tak sadar, kita telah masuk dalam sebuah pusaran besar terkait data pribadi yang kita tuliskan saat log in ke website atau aplikasi tertentu. Keamanan yang belum tentu terjaga dengan baik. Walau data kita sudah terlindungi dan diperkuat dengan undang-undang pemerintah. Namun lihat saja, sudah banyak kejadian bahwa data yang kita simpan di cloud melalui pihak ketiga, bisa dengan mudah diambil dan dimanfaatkan untuk kejahatan yang menguntungkan orang-orang tertentu.


Satu lagi, sadar ga mak, kalau di media sosial tuh, mereka seolah-olah sudah mengenal kita banget. Machine learning yang mereka gunakan itu sudah terkelola sedemikian rupa, sehingga saat membuka media sosial, yang muncul di beranda kita hanya produk atau informasi  yang memang berhubungan dengan kita. Seolah-olah mereka tahu apa yang kita suka.


Padahal, setiap kita membuka media sosial tuh sudah tercatat, kita sering mencari informasi tentang apa, kalau mau belanja, kita sering scrolling produk apa. Nah informasi ini lah yang kemudian muncul di beranda media sosial kita. Pantas saja pak profesor ga punya akun medos ya. Beliau ga mau blunder terjebak dalam lautan informasi.


Atau kalau kita sudah klik informasi tertentu, maka ada informasi-informasi pop-up di layar kita tuh yang berkaitan dengan hal yang sedang kita cari. Dan ini membuat kita akan terus menerus meng klik informasi itu. Dari satu laman ke laman lain. Gila yak. Dan ga terasa sudah empat jam kita scrolling sana sini. Fiuuh.


Yuk ah, saatnya beberes gadget, gunakan screen time, patuhi, dan biarkan hidup menjadi hidup.

 

Jadi, sudah decluttering gadget seperti apa mak?


Btw, saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca dan didiskusikan pada keluarga agar tetap waras selalu. :)

Komentar

  • Purnama Indah

    Rabu, 24 November 2021

    It's where we experience the joy of being heard, of being understood. Merinding aku bacanya. Beli bukunya di mana mba? Sudah lama aku pakai timer di instagram, 2 jam sehari. Alhamdulillah sudah jarang melebihi batas waktu 2 jam. Tapi dipikir-pikir, 2 jam juga masih lama ya. Coba ah nanti dikurangi lagi durasinya. Terima kasih mba, tulisannya tidak sekedar review, tetapi juga menginspirasi untuk berubah. Perpanjangan tangannya Om Newport nih 😁

    • Admin

      Minggu, 28 November 2021

      Iya ya, medsos macem fb sama IG sudah ngasih fitur alarm. tapi emang aku nya juga ndablek. hahaha. Muncul aja itu pop up suruh brenti, tapi lanjuuut medsos an. Bukunya beli online, di tokbuk offline ada sih, tapi harganya bikin sakit hati. Hahaha...

  • Phaiyw

    Kamis, 25 November 2021

    Jadi tersindir aku tentang declutering aplikasi gadget. Iya nih kebanyakan jadi nimbulin chache di memori aja. Kayaknya aku harus segera praktek bersih-bersih apk nie.

    • Admin

      Minggu, 28 November 2021

      Baca buku ini tuh ya, banyak kegaplok sana siniii. hahaha Saya puuun ga cuma tersindir, tapi kegaplok juga.

  • Mesa

    Minggu, 28 Maret 2021

    Maaak Iiiik....makasiiih reviewnyaaa.... Ku sedang baca buku ini jugaaa, tapi versi bahasa jermannya karena nemunya itu di perpus. Review dr mak Ika membuatku punya gambaran besarnya. Sukaaaa. Dan sepakat, menerapkan manajemen gawai untuk menjaga kewarasan, hoho :)

  • Sakif

    Kamis, 25 November 2021

    Aku udah rajin bersiin cache, hapus aplikasi dan file ga penting, menghindari HP buat scroll doang... Tapi ngurangi waktu screen belum bisa nih.. Mayoritas kegiatan: balajar, komunitas, kerjaan, harus lewat layar. Hiks... Kapan ya bisa libur sebulan penuh..

    • Admin

      Minggu, 28 November 2021

      wuaaah kereen udah bebersih hp. btw ya, untuk screen time tuh emang sesuattu ya. mengoda banget

  • laylabadra

    Sabtu, 27 November 2021

    Waaah... aku jadi tertarik baca bukunya. Aku kadang suka gloomy sendiri setelah scroll dll. Apalagi sekarang aku punya anak ya. Ya memang kami bersepakat utk tidak ada screen time. tapi suka tergoda juga diri ini untuk buka hp saat lagi aktivitas sama dia. PR banget nih declutering.... hpku penuh dengan file-file dan aplikasi... huaaaa.....

    • Admin

      Minggu, 28 November 2021

      hihihi...tosss... saya juga masih belajar untuk konsisten pada screen time nih. emang godaan bangeet semangaaat

  • Dewi Syafrina

    Selasa, 23 November 2021

    Duh, aku juga pengen membatasi diri dari gadget 😆 tangan ini seperti sudah ketergantungan ngecek HP setiap menit. Semoga bisa terealisasikan wkwk. Terima kasih informasinya mbak..

  • Yonal Regen

    Rabu, 24 November 2021

    Seneng baca latar bagaimana bisa berkenalan dengan buku ini via komunikasi hangat dengan sang anak, Azka. Then, semoga kita bisa mengelola gadget sesuai peruntukannya yang proporsional

  • Naqi

    Kamis, 02 Desember 2021

    Ambil jeda pakai gawai ini nih yang susah. pernah cuma 1 minggu no Hp sama sekali, karena pas rusak. Dicari banyak orang dan ribet kasih klarifikasi :"). Jadi nambahin TBR ku dengan buku ini nih. Makasih yaa :)

Tambahkan Komentar

Jejaring Sosial