Home / Artikel Bila aturan keluarga bertemu dengan eyang uti

Bila aturan keluarga bertemu dengan eyang uti

Bila aturan keluarga bertemu dengan eyang uti

Parenting

Senin, 16 Oktober 2017

 "Ade..., itu cucian piringnya nungguin tuh." kata bunda sesaat setelah adik sedang menonton televisi. Lalu tiba-tiba, eyang uti nyeletuk, "Nanti Eyang aja yang nyuciin, dah sana kamu nonton aja dulu." Asiiik, makasih eyaaang." jawab si adik.


Handphone disimpan sementara karena kesepakatan keluarga dilanggar oleh kakak. Tak lama eyang uti meminjamkan handphonenya pada kakak.


Eyang kakung langsung menggendong si kakak saat bunda sedang memberikan 'pojok merenung' atas kesalahan yang telah dilakukan kakak pada adiknya.

***


Pernah mengalami hal seperti itu kah?. Pasti rasanya gemes bin gregetan bukan? Disiplin dan konsekuensi yang sudah kita jalankan di rumah, kadang buyar karena kehadiran 'dewa-dewi penyelamat' bagi salah satu anggota keluarga. Eyang bisa menjadi salah satunya. Ya, itulah bumbu mendisiplinkan anak saat eyang datang. Ungkapan bahwa kakek dan nenek lebih mencintai cucunya dari pada anaknya sendiri kadang betul juga. Hari ini saya mengalaminya. Si adik terihat sumringah saat tahu eyangnya yang akan menggantikan tugas mencuci piring dan menyapu rumah hari ini. Artinya, bebas tugas dari sesuatu yang sudah disepakati bersama. Belum lagi kalau eyang uti memberitahu kami kalau mau nginep beberapa hari. Wuaah, bagai  mendapatkan durian runtuh ah si adik ya. Hehehe.


Setiap awal bulan, kami biasakan untuk membuat piket harian, ada ngedate rutin di awal bulan. Biasanya kami gunakan untuk mengapresiasi pencapaian bulan sebelumnya dan merencanakan kegiatan di bulan berikutnya. Termasuk ngobrolin pekerjaan rumah tangga yang kami turunkan menjadi piket harian. Ragam pekerjaan rumah itu kami diskusikan, mana yang memang mau dibagi-tugaskan mana yang tidak. Dan bulan ini, kami sepakat, membagi tugas harian mulai dari :


1. Nyapu dan ngepel rumah bagian dalam,

2. Menyapu dan mengepel teras,

3. Menyiram tanaman,

4. Mencuci piring kotor,

5. Mengisi air minum ke botol dan

6. Membuang sampah dapur


Masing-masing anak memilih tiga tanggung jawab. Bila semua tugas sudah dikerjakan, anak-anak mencentangnya di papan keluarga yang kami tempel di area yang mudah terlihat. Tantangan tanggung jawab harian menjadi semakin seru saat bulan ini anak-anak sepakat menyelesaikannya sebelum berangkat sekolah. Oia, kebetulan saat ini si sulung kelas tiga SMA dan si bungsu kelas satu SMA. Jadi, tanggung jawabnya harus disesuaikan dengan usia juga.


Bagaimana bila tanggung jawab belum terselesaikan di pagi hari? Maka, kesepakatannya adalah anak-anak wajib menyetor cerita terkini dari koran atau majalah yang mereka baca hari itu pada kami saat makan malam. Namun, kadang tanggung jawab ini bisa melenceng saat eyang uti datang. Eyang uti yang notabene seneng banget bersih-bersih rumah, gatel kalau melihat rumah berantakan. Akan benar-benar menjadi dewi penyelemat anak-anak. Mereka sangat senang bila eyang uti menginap di rumah. Artinya, ada beberapa tanggung jawab mereka yang kemudian akan dikerjakan oleh eyang uti. Nah, kalau ini, menjadi tantangan ayah bundanya nih.


Kami kecolongan nih. hehehe. Kalah cepat dengan 'kehebatan' anak-anak. Ga kepikiran kalau bakalan ada dewi penyelamat loh. Kirain ini sudah mendarah daging juga di eyang uti untuk tidak membantu cucu-cucu soal pekerjaan rumah, ternyata... .Hehehe. Akhirnya, ini yang kami lakukan :


1. Diskusi dengan eyang uti

Kami harus berdiskusi dan memahamkan eyang uti tentang tanggung jawab ini. Memahamkan dengan mau menurunkan standar bersih-bersihnya eyang uti untuk di 6 area rumah tangga itu. Hanya 6 area saja. Dan itu berhasil dengan melalui argumen panjang yang bagi eyang uti 'kasihan' bila cucunya harus mengerjakan itu semua di pagi hari sebelum mereka berangkat sekolah. Buat kami, itu keputusan yang mereka diskusikan sendiri. Anak-anak perlu tahu dan mengalami setiap keputusan yang diambil. Apa konsekuensinya bila mereka memutuskan untuk menyelesaikan tugas sebelum berangkat sekolah. Walaupun kesepakatan bisa dirubah setelah dua minggu berjalan, namun anak-anak perlu belajar mengalami sendiri konsekuensi dari setiap hasil diskusi.


2. Mengingatkan kembali pemahaman sayang dan menghormati kepada orang yang lebih tua

Anak-anak sebetulnya menjadi guru pembelajar terbaik kita. Ada saja hikmah yang selalu muncul dari setiap kejadian. Maka kejadian itu bisa menjadi alarm kebaikan untuk kita perbaiki bersama. Salah satunya, mengencangkan kembali terkait adab terhadap orang lain.


3. Memberikan alternatif tanggung jawab lain pada anak bila eyang tetap bersikeras ingin membantu

Buat kesepakatan pengganti jenis tanggung jawab seperti ini di awal dengan anak-anak. Jadi saat orang lain mengambil alih tanggung jawab, maka kami tetap harus memilih tanggung jawab lain. Kami sudah membuat list tanggung jawab harian sebelum akhirnya dipilih menjadi 6 saja yang diambil rutin, nah sisanya bisa menjadi tanggung jawab pilihan. Contoh tanggung jawab di luar 6 itu adalah mencuci, menjemur pakaian dan mengelap teralis jendela


Emaks tahu apa yang eyang uti lakukan terhadap salah satu dari 6 tanggung jawab tadi? Setiap selesai makan dan masak, eyang uti langsung mencuci semua peralatan yang digunakan sendiri. Dan serunya lagi, setiap kali eyang uti makan, selalu menggunakan inke (semacam piring rotan) yang dialasi kertas nasi. Jadi, setiap makan, tidak perlu mencuci piring, cukup buang saja kertas nasi bekas makannya. Hahahaha...


Oohh...kami sayang eyang uti.

Komentar

  • Aulia R. Alhafidz

    Selasa, 27 Maret 2018

    seru ceritanya, aku juga nanti kalau udah nikah mau buat peraturan biar pada disiplin + mau bertanggung jawab anak-anaknya O:)

  • Anggarani ahliah citra

    Selasa, 27 Maret 2018

    Hahahaa... iya bener banget nih. Dilema emak2 mendidik anak di depan emaknya sendiri. Tapi ya dinikmati ajalah yah. Kadang emang perempuan itu lebih sayang sama cucu daripada sama anaknya sendiri. :D

  • Siska

    Selasa, 27 Maret 2018

    Endingnya jleb banget, hehe... emang praktis banget pake piring yang dari rotan itu ya, habis pake nggak perlu dicuci tinggal buang pembungkusnya. Mungkin kalau sy udah punya anak2 bakal ngalamin kayak yg mbak alamin. Secara emang rata2 ortu suka manjain cucunya... 😄

  • Siska

    Selasa, 27 Maret 2018

    Endingnya jleb banget, hehe... emang praktis banget pake piring yang dari rotan itu ya, habis pake nggak perlu dicuci tinggal buang pembungkusnya. Mungkin kalau sy udah punya anak2 bakal ngalamin kayak yg mbak alamin. Secara emang rata2 ortu suka manjain cucunya... 😄

  • Baiq Rosmala

    Selasa, 27 Maret 2018

    Inspirasi untuk mengajarkan anak anakku kelak tentand disiplin. Thanks for sharing mba

  • Ida Nurhidayati

    Selasa, 27 Maret 2018

    Yaaah, begitulah (ambil nafas panjaaang......) belum lagi kalau kita marahin anak, neneknya ganti marahin ortu, nyeseg mode on beneran. Tapi memang hal ini butuh diskusi panjaaaang, dan sedikit ngotot. Demi kebaikan anak2 kita, karena mendidik anak tanggung jawab kita, bukan neneknya.

  • Dian Restu Agustina

    Selasa, 27 Maret 2018

    untung rumah jauh dari Eyangnya..jadi enggak ada perbedaan aturan. ketemu juga cuma sebentar Tapi memang eyang-eyang selalu lebih enggak tegaan pada cucu ya hihihi

  • D. Isnaini Fadhilah

    Selasa, 27 Maret 2018

    Seru, mbak. Kadang memang suka kepikiran takut-takut cara "orang tua" alias eyang uti akan berbeda dengan kita dalam mendidik anak. Namun ternyata kuncinya hanyalah musyawarah dan saling pengertian. Terima kasih ya tipsnya.

  • shela anjar rani

    Selasa, 27 Maret 2018

    Saya pernah mengalaminya mba...namun tetap aturan saya berlaku walau sedang dirumah neneknya

  • Bunda Erysha (yenisovia.com)

    Rabu, 28 Maret 2018

    wah anak-anaknya sudah pada besar ya, Mba. Jadi sudah banyak tanggung jawabnya sesuai usianya. Tapi terladang suka kikuk Bun klo yang dateng mertua. Kikuk ngajak ngobrolnya soal aturan keluarga hiihihu. O

  • El-Lisa

    Rabu, 28 Maret 2018

    Alhamdulillah embahnya dulu nggak pernah ikut campur. Nggak kebayang kalau seperti itu kejadiannya

  • Unni riska

    Rabu, 28 Maret 2018

    Kata orang desa yang q sayangnya dengan anak, ketika cucu lahir semua sayang seolah ditansfer kepadanya. Akibatnya eyang tidak tega membiarkan cucu kesusahan, segala hal di handel eyang demi menyenangkan dan mengambil hati cucu. Hal ini sering jadi konflik kuta dengan orangtua. Tidak hati-hati berbicara dengan orang tua bisa menyebabkan mereka tersinggung. Dilema jadinya

  • Fitri Astuti

    Kamis, 29 Maret 2018

    Setuju mba, bagaimanapun berkomunikasi dengan baik kepada eyang uti harus tetap di jaga. Terima kasih bannyak mba, mengispirasi metode bagi tugasnya.

Tambahkan Komentar

Jejaring Sosial